My Facebook

  1. Muria_Foundation
PENDIDIKAN BAHASA DALAM MASYARAKAT MAJEMUK PENDIDIKAN BAHASA DALAM MASYARAKAT MAJEMUK

PENDIDIKAN BAHASA DALAM MASYARAKAT MAJEMUK PENDIDIKAN BAHASA DALAM MASYARAKAT MAJEMUK



A.    Pendahuluan
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, bangsa yang mempunyai tingkat heterogenitas tertinggi di dunia, satu bangsa dengan ratusan etnis, ratusan bahasa, dan bermacam-macam agama serta beranekaragam latar belakang budaya plus adat istiadat, keberagaman merupakan keniscayaan yang telah ditetapkan oleh yang punya semesta alam ini atau sunnatullah (ketentuan dari Allah SWT), artinya semua yang terdapat di dunia dengan sengaja diciptakan dengan penuh keragaman. Kita dapat lihat ciptaan Allah seperti manusia, jin dan iblis adalah bentuk pluralitas dalam kerangka makhluk Allah, pria dan wanita adalah bentuk pluralitas dari kerangka kesatuan jiwa manusia, begitu juga agama Yahudi, Nasrani, Hindu, Budha, Islam merupakan bentuk pluralitas keyakinan manusia, anggota keluarga adalah pluralitas dalam kerangka kesatuan keluarga, begitu juga Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan al-Wasliyah adalah merupakan pluralitas dari kerangka aliran, dan masih banyak lagi pluralitas yang ditunjukan di alam ini, maka tidak ada alternatif lain kecuali menerima dan memelihara dengan mengarahkan kepada kepentingan dan tujuan bersama. Jalaluddin Rahmat mengatakan pluralitas (keragaman) aliran dalam Islam adalah untuk memberikan keleluasan kepada masyarakat dalam memilih konsep-konsep terbaik dan peraktek-peraktek yang cocok dengan perkembangan zaman dan kondisi lingkungan tertentu. Disamping itu pluralisme aliran juga bertujuan membantu para pencari hukum dan keadilan untuk menemukan hukum yang tepat bagi permasalahan yang dihadapi.[1]





B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Pluralisme
2.      Pengertian Radikalisme
3.      Peranan Bahasa dalam Menyikapi Pluralisme

C.    Pembahasan
I.       Pluralisme
Pluralisme bangsa adalah pandangan yang mengakui adanya keragaman di dalam suatu bangsa,  seperti  yang ada di Indonesia.  Istilah  plural mengandung  arti   berjenis- jenis, tetapi pluralisme bukan berarti sekedar pangakuan terhadap hal tersebut. Namun mempunyai   implikasi-implikasi   politis,   sosial,   ekonomi.   Oleh   sebab   itu,   pluralisme berkaitan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Banyak negara yang menyatakan dirinya sebagai   negara   demokrasi    tetapi   tidak   mengakui    adanya   pluralisme    di   dalam kehidupannya  sehingga terjadi berbagai jenis segregasi. Pluralisme  ternyata berkenaan dengan hak hidup kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam suatu komunitas. Komunitas-komunitas   tersebut   mempunyai   budaya   masing-masing   dan  keberadaan mereka diakui negara termasuk budayanya.
Budaya di dalam kehidupan  bermasyarakat  sangat penting karena menjadi alat perekat  di dalam  suatu  komunitas.  Oleh  sebab  itu, setiap  negara  memerlukan  politik kebudayaan  (Harrison  and  Huntington,  2000).  Bahkan  Gandhi  menunjukkan   bahwa budaya sebagai alat pemersatu bangsa. Senada dengan itu, Soedjatmoko (1996) mengungkapkan Indonesia memerlukan adanya suatu politik kebudayaan sebagai upaya mengikat bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang besar.
Kita perlu menyelamatkan bangsa dan negara dengan kembali kepada nilai-nilai luhur yang pasti melekat pada sebagian besar orang, kelompok, dan masyarakat di negari ini. Persoalannya tidak setiap orang atau kelompok yang mau mengakui pluralisme. Padahal dengan saling mengenal, kelompok masyarakat yang plural dapat mengembangkan apresiasi, penghormatan, bahkan kerja sama antara yang satu dengan yang lain (Ala,2008).
Subkhan (2007:29) menyatakan pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai di mana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat kita bekerja, di  sekolah  tempat  kita  belajar,  bahkan  di  pasar  tempat  kita  berbelanja.  Tapi, seseorang   bar dapa dikataka menyandan sifa tersebut   apabila   ia   dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.
Intan (2007) menyatakan pluralisme agama yang berpondasikan solidaritas individual niscaya membuahkan beberapa implikasi positif : Pertama, pemahaman kemajemukan        agama  bukan  lagi sekedar kenyataan, melainkan          menjadi keharusan”  yang tidak dapat dihilangkan. Pada realitas ini muncul usaha saling memperhatikan yang lahir dari kesadaran interdependensi. Pada kondisi ini, agama didorong         memberi          kontribusi karena interdependensi agama mensyaratkan ketidakaktifan satu agama akan berpengaruh kepada hasil-hasil yang akan dicapai. Jika  kesadaran  interdependensi  agama  terus  bertumbuh,  partisipasi  agama-agama dapat dimaksimalkan. Kedua, pluralisme agama berbasis solidaritas intelektual menjunjung prinsip take and give. Dialog yang baik akan menghasilkan perubahan kedua belah pihak. Ketiga, berdasarkan solidaritas intelektual, pluralisme agama mengharuskan kebebasan beragama bukan sebatas negatif immunity, bahwa agama harus bebas dari cengkraman sosial-politik termasuk negara. Keempat, pluralisme agama dengan solidaritas intelektual berpotensi menghasilkan nilai-nilai yang mengandung common good.
Yang dimaksudkan dengan masyarakat plural dalam tulisan ini, adalah masyarakat majemuk yang ditandai adanya beragam suku bangsa, agama, budaya atau adat-istiadat. Kondisi masyarakat yang demikian diperlukan kerja sama dengan sikap toleransi dalam menghadapi berbagai tantangan untuk memperkuat ketahanan sosial suatu komunitas.
Pluralitas (keanekaragaman) itu sendiri mengandung potensi konflik, terutama dikalangan masyarakat yang kurang bersentuhan dengan ide-ide pluralisme, karena itu perbedaan suku, ras, bahasa terutama agama menjadi penghalang bagi mareka untuk menjalin kerjasama, bahkan bila kita membalik lembaran sejarah dunia, tidak sedikit diperoleh catatan tentang rusaknya persatuan suatu negara yang diakibatkan oleh tidak harmonisnya hubungan (pergaulan) antara penganut agama yang berlainan. Namun keberagaman itu juga merupakan aset yang berharga untuk meningkatkan kreatifitas bangsa Indonesia, dinamika sosial dengan cara mensyukurinya sebagai kekayaan bangsa, karena dalam membangun bangsa Indonesia tercinta ini tidak cukup dengan toleransi saja, karena istilah toleransi hanya sebatas hidup berdampingan secara damai, tetapi antara satu dan yang lain tidak saling pengertian dan tidak merasakan kebersamaan.

II.    Radikalisme
Secara semantik, radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis[2]. Dalam Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa “radikalisme” adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut. Dalam dua definisi ini “radikalisme” adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim. Adapun dalam Kamus Ilmiyah Populer karya Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (penerbit Arkola Surabaya, cet. th. 1994) diterangkan bahwa “radikalisme” ialah faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan. Dalam definisi terakhir ini “radikalisme” cenderung bermakna perubahan positif.
Oleh karena itu, pandangan positif dan negatifnya terhadap radikalisme tentunya terletak pada cara merealisasikan dan mengekspresikannya serta dasar pandang para pengamatnya. Biasanya kaum establishment amat alergi dengan isu radikalisme, berhubung kaum radikal amat gigih menuntut adanya perubahan sosial politik yang berarti pula akan sangat tajam mengoreksi kalangan statusquo. Keinginan adanya perubahan sosial – politik masih dianggap wajar dan positif bila disalurkan melalui jalur perubahan yang benar dan tidak mengandung resiko instabilitas politik dan keamanan. Dalam makna ini, radikalisme adalah wacana sosial – politik yang positif. Adapun perubahan yang cepat dan menyeluruh (revolusi), selalu diikuti oleh kekacauan politik dan anarkhi, sehingga menghancurkan infra struktur sosial – politik bangsa dan negara yang mengalami revolusi tersebut. Dalam makna ini, radikalisme adalah sebagai pemahaman yang negatif dan bahkan dapat pula dikatagorikan sebagai bahaya laten ekstrim kiri ataupun kanan.

III. Peran Pendidikan Bahasa dalam Menyikapi Pluralisme
Bahasa merupakan alat komunikasi yang menyatakan segala sesuatu yang tersirat dalam diri kita. Langeveld berpendapat bahwa bahasa sebagai suatu sistem ketetapan hubungan pengertian memungkinkan manusia melakukan hubungan di antara sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang memungkinkan manusia melakukan hubungan dalam kehidupan untuk menyatakan segala sesuatu.[3]
Kita harus bersyukur karena bangsa Indonesia memiliki bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu dan dilahirkan pada kongres Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Disamping itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia memiliki berbagai fungsi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: sebagai lambang kebanggaan nasional, sebagai lambang identitas nasional, sebagai alat pemersatu bangsa, dan sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Meskipun pada hakekatnya bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang notabene bukan merupakan daerah yang mendominasi. Maka, kita harus senantiasa memiliki kebanggan dan bersyukur memiliki bahasa Indonesia.
Dari sekian banyak fungsi yang telah disebutkan, ada satu fungsi yang menjadi sangat dominan, yaitu bahasa sebagai alat pemersatu bangsa. Mengapa demikian? Karena pada kenyataannya, hampir semua penduduk di Indonesia mengerti bahasa Indonesia. Dan bahasa ini juga sudah diikrarkan menjadi bahasa nasional ketika Sumpah Pemuda dikumandangkan tahun 1928. Meskipun pada kenyataanya bahasa Indonesia berasal dari bahasa minoritas yaitu bahasa Melayu, namun kekuatannya dalam mempersatukan bangsa Indonesia sudah tak bisa diremehkan lagi. Sebagai buktinya, kita ambil semangat para pejuang pada saat mengupayakan kemerdekaan Negara Indonesia. Mereka dengan lantang menyuarakan semboyan “Merdeka atau Mati!!”. Semboyan ini secara serta merta membangkitkan semangat rakyat untuk terus berjuang demi kesatuan bangsa. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuatan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa yang tidak bisa dianggap sebagai hal yang remeh.
Bahasa Indonesia mampu mengobarkan semangat persatuan dalam diri pribadi masyarakat Indonesia. Selain dalam bentuk semboyan, bahasa Indonesia juga digunakan dalam penulisan lirik lagu-lagu nasional. Tak bisa dipungkiri bahwa lagu-lagu nasional secara tak langsung akan mampu membangkitkan semangat nasionalisme. Lirik dari lagu nasional tersebut, secara praktis dapat mengobarkan semangat nasionalisme.
Hal ini juga berlaku pada penggunaan bahasa Indonesia dalam penyusunan Undang-Undang Dasar Negara dan Pancasila. Penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks ini mampu mempersatukan bangsa Indonesia dalam hal persamaan ideologi dan hukum. Setiap daerah di Indonesia pasti mempunyai latar belakang budaya dan adat istiadat yang berbeda. secara otomatis, setiap daerah pasti mempunyai ideologi dan hukum yang berbeda satu sama lain, sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku dalam daerah tersebut. Namun, semua perbedaan tersebut dapat ditranskripsikan dalam satu ideologi yang dinamakan Pancasila dan UUD 1945 dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam penyusunannya.  Kendati demikian, penerapan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa bukan berarti tanpa hambatan. Banyak pihak yang justru memakai bahasa Indonesia sebagai alat untuk menciptakan disintegrasi bangsa dengan jalan provokasi. Hal ini dapat diibaratakn sebagai fenomena gunung es. Apa bila dilihat dari atas laut terlihat kecil, akan tetapi jika ditelusuri ke bawah laut, akan terlihat bongkahan es yang begitu besar memaku sampai ke dasar laut. Demikian halnya dengan pihak-pihak yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat provokasi dalam arti negatif. Secara sekilas, tak nampak adanya penyelewengan dalam penggunaan bahasa Indonesia, mereka nampak seperti pemberontak kecil yang menyuarakan aspirasinya. Akan tetapi, bila ditelisik lebih jauh, ternyata mereka mempersiapkan usaha untuk memecah belah bangsa Indonesia.
Kini, menjadi tugas kita untuk mengembalikan bahasa Indonesia ke dalam fungsi yang sesungguhya. Perlu kembali direnungkan betapa pentingnya peranan bahasa Indonesia dalam proses integrasi bangsa. Karena sesunggunya tak ada yang bisa mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia kecuali kita sendiri, rakyat Indonesia. Untuk mempertahankan kedaulatan tersebut, kita harus mengupayakan adanya komunikasi. Dan komunikasi tersebut hanya dapat kita lakukan dengan bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia.[4]

D.    Kesimpulan
Alangkah indahnya jika keragaman suku, agama, ras, dan antara golongan yang biasa disingkat dengan SARA” dapat dijadikan modal bersama untuk membangun Indonesia. Semua elemen bangsa ditempatkan sebagai kekayaan sosial yang berharga, diperlakukan adil, serta punya kesempatan berkembang dan berperan membangun negeri. Namun pada kenyataannya kerusuhan yang sering terjadi di Indonesia berlatar belakang SARA, sehingga kemajemukan bukan dijadikan modal dasar pembangunan Indonesia, tetapi seolah-olah menjadi beban. Hal ini mencerminkan bahwa bangsa kita sedang mengalami disorientasi nilai solidaritas menyangkut kepedulian sosial dan penghargaan atas potensi individu dan kelompok lain. Tidak ada lagi nilai kebersamaan yang mengikat kehidupan bersama. Padahal tanpa nilai itu, masyarakat rentan menjadi kumpulan kami- kami yang miskin semangat kekitaan.

E.     Penutup
Demikian susunan makalah dari kami, kami sadari makalah kami jauh dari sempurna. Maka kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan makalah kami selanjutnya.





DAFTAR PUSTAKA

__________, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua. Balai Pustaka. 1995,
Ala, Abd .Kebebasan Anarkis, Kompas 3 Juni. 2008
Intan, Benyamin F . Solidaritas Intelektual, Kompas 21 September 2007
Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, Jakarta, Serambi, 2006
Van, Hoeve.Ensiklopedi Indonesia, cet.Ikhtiar Baru. 1984
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry.Kamus Ilmiah Populer.Arkola: Surabaya. 1994



[1] . Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, Jakarta, Serambi, 2006. Hal :18-19
[2] . Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa di unduh tanggal 11 Februari 2012